Imajinasi: Dunia Kanakku Masih Ada

Awan Berbentuk Wajah.jpg

Halte sesak. Kami memutuskan berjalan kaki Menyusuri bahu jalan raya. Memandangi tahu-tahu yang bertingkat-tingkat di atas saringan wajan. Minyak di bawahnya menggenang.

Kami menunggu. Duduk di trotoar. Melihat mobil-mobil melintas. Mataku tertuju pada bus-bus. Berharap bus tujuan kami datang. Penantianpun tidak sia-sia. Bus tujuan Garut-Lb. Bulus mendekat.

Aku berdiri. Melambaikan tangan. Bus mendekat. Kondektur membuka pintu depan. Dia masuk lebih dulu. Aku mengikuti di belakangnya. Lalu kami menyusuri lorong bus. Mencari bangku kosong. Pencarian kami pun berbuah. Kami duduk. Terpisah. Dia tepat di belakangku.

Bus bisa dikatakan padat. Ada seorang perempuan berdiri dekat supir. Kemudian, bus melaju. Aku merasakan getarannya.

Andai bus ini bisa bicara. Entah apa yang dirasakannya. Senang karena berguna. Sedih karena sesak. Atau kesal pada kondektur dan supir. Yang jelas, bus ini sangat menolongku dan orang-orang di dalamnya.

Di sebelahku, duduk seorang laki-laki berbaju kuning yang sepertinya dua tahun lebih muda dariku. Ia memandang ke luar jendela sebelah kanan. Sesekali aku melihatnya membalas sms. Mungkin dari pacarnya. Karena dari awal perjalanan hingga akhir ia ber-sms-an.

Aku menikmati perjalanan ini. Langit biru muda, cerah. Awan putih menggumpal-gumpal. Hanya matahari yang tidak kulihat. Aku bisa merasakan kehadirannya di atas awan. Sinar kuningnya terlihat. Awan yang menggunduk bergaris-garis kuning, seperti cahaya dari surga.

Begitulah yang aku saksikan dalam film-film. Ketika malaikat menghampiri manusia. Atau seperti dalam film kartun Ice Age 2. Ketika tupai mati, berada di atas awan. Menuju gerbang yang bersinar seperti yang aku saksikan saat ini.

Tapi aku tidak sedang berada di surga. Aku berada di dalam bus. Merasakan getaran. Apalagi saat bus melewati jalan berlubang. Kami semua, penumpang, bergoyang.

Aku menikmati pemandangan ini. Tidak tahu, dengan dia di belakangku. Ketika aku menengok, aku lihat telinganya disumbat. Kabel warna putih menghubungkan dengan dunianya. Ia sedang menikmati musik. Aku tersenyum, dia pun membalas.

Aku kembali menatap ke luar jendela sebelah kanan. Melihat gundukan awan terpisah. Aku langsung bisa menerka. Seorang perempuan berlutut. Dada membusung. Wajahnya menengadah ke atas, seperti menatap lapisan langit lain. Rambutnya sepinggang. Aku bisa sangat jelas melihat dagu dan matanya. Tapi ada yang membuatku ragu. Hidungnya besar dan panjang. Tidak proposional untuk ukuran manusia. Aku menyadari. Ini adalah imaginasi. Ya, imaginasi.

Teman-temanku bilang imaginasiku sangat bagus. Inilah salah satu kelebihanku. Aku teringat waktu kecil, saat dunia imaginasiku bebas bermain dipikiranku.

Dulu, saat dalam perjalanan. Aku pun sering melihat awan. Aku senang karena aku bisa melihat  awan berbentuk ikan, beruang, bunga, bahkan makanan seperti hamburger di atas langit.

Kini, aku jadi berpikir. Imaginasi adalah salah satu kelebihan anak-anak dibanding orang dewasa. Jadi, dengan imaginasiku yang masih liar, apakah aku masih kekanak-kanakan?

Kalau dilihat dari usiaku yang sudah 20 tahun, aku bukan lagi kanak-kanak. Bisa dikatakan dewasa. Memang, sifat kekanak-kanakanku masih ada. Misalnya, mudah tersinggung dan menangis. Seperti kanak-kanak pula, aku mudah kembali seperti sebelumnya.

Aku menyadari, imaginasi masih menetap di dalam diriku. Namun, berbeda. Misalnya, ketika berada di dalam kamar mandi berpintu kayu. Ada gumpalan-gumpalan bekas air di pintu yang tidak beraturan. Aku melihat gumpalan itu membentuk sosok menyeramkan, contohnya perempuan berambut panjang, orang berbungkus kain dengan ikatan tepat di atas kepalanya, atau laki-laki bergigi taring.

Aku membenci bayangan seperti itu. Karena tidak hanya di kamar mandi, tapi pun di kamar kosan. Langit-langit putih di kamar pun terdapat gumpalan warna coklat. Sepertinya dari air hujan yang berhasil menembus atap genteng.

Kalau tidak sengaja, aku bisa melihat pangeran tampan dalam cerita dongeng. Tapi kalau aku sadar dengan ini, seketika bentuk menyeramkan muncul. Jika sudah begini, aku hanya bisa memalingkan wajah.

Aku rasa, efek dari imaginasi ini dapat terlihat di dunia mimpi. Setiap terlelap, aku selalu bermimpi. Ada saja cerita dalam mimpiku. Biasanya sesuatu yang sedang aku pikirkan atau malah yang baru aku lihat, terekam dan menjelma dalam mimpi.

Aku bahagia dengan dunia imaginasi ini. Berkatnyalah aku bisa berkhayal dan menuliskannya, misalnya menjadi sebuah cerpen. Aku bahagia pernah melewati masa kanak-kanak. Karenanyalah ada aku seperti sekarang.

Khayalanku terhenti. Tiba-tiba aku mual. Mata pun terasa berat. Aku putuskan untuk tidur. Berimaginasi, dalam mimpi.

Bekasi, 30 Juli 2011

Leave a comment